Skip to main content

Posts

Showing posts from May, 2014

Rindu

Dan bagaimana saya menjadi tidak rindu. Ketika semuanya berjalan dan tak terkendalikan. Sebegitu angkuhkah waktu hingga kau sengaja menyeret semua yang ada pada diri juga kenangan. Saya rindu kejujuran. Sebegitu angkuhkah waktu saat hampir semua yang kau lihat tak lebih dari sekedar kebohongan belaka. Bukankah jujur lebih menenangkan hati?. Saya rindu kepolosan dan ketulusan. Ketika tangan menggenggam dan memeluk semua yang membutuhkan. Atau merelakan bahu untuk   bersandar walaupun sejenak. Begitu angkuhkah waktu hingga kau pandai sekali menyibukkan makhluk di bumi ini?. Hai, waktu. Bukan kau yang kusebut sahabat, yang siap meninggalkan tanpa pesan. Begitu angkuhkah kau hingga selalu mengikuti jejak langkah dan mengantarkan pada tumpukan tugas yang tak pernah usai?. Saya rindu sahabat.   Saya rindu menatap gemintang dan bulan yang merekah di langit merah di hari yang awal. Kusebut ia Pollux. Saya rindu bermain atau mungkin sekedar melipat kertas menjadi bintang. Hai sahabat, ak

Penyihir

Sebagai ikan aku muak berendam di kolammu. Kolam yang konon katanya tempat putri dan raja mandi bersama. Saat wangi bunga dan gelak tawa semerbak memenuhi udara. Bunga apa yang tak ada, Semua bertumbuhan melengkapi hidangan makan malam . Itu kata leluhurku yang tubuhnya menyala ketika malam tiba. Putri dan raja telah dikutuk jadi angsa. Angsa dengan tompel   yang menempel sekenanya. Tak ada wangi bunga apalagi   gelak tawa. Mungkin hanya amoniak yang bisa kau nikmati dari kepak tubuhnya. Kolam ini pahit. Bila kau tak sengaja menelan, kau akan menembus sepertiga kilometer   stratosphere . Disana kau akan bertemu penyihir yang bertongkat bidadari, samar sekali. Rambutnya merah seperti putri duyung yang kau ceritakan padaku dua hari yang lalu. Hari ini aku tengah berkelana dengannya. Menyusuri petak rumah yang dihuni makhluk beraneka rupa, tak terlihat, tapi terasa. Halus tapi mencekik aliran darah. Penyihir itu kini semakin sumringah sebab disampingnya, aku sebagai ik

Midun

Menaiki kereta kuda kau mengajakku menjelajah langit. Melihat beribu cahaya yang ditanam tanganNya yang perkasa. Kau bilang aku boleh memetiknya, tapi aku takut bencana datang kalau sampai semua ingin memilikinya. Biarlah aku pelihara satu saja mungkin untuk bekal esok saat konsleting memenuhi tanah ini. Kudamu merah muda persis seperti warna roda sepeda Midun yang dibelinya kemarin lusa. Roda yang menggelinding membawa siapa pun menikmati usia. Midun masih kelas lima. Tapi siapa yang bisa mengelak, ialah calon penguasa. Dua puluh tahun lagi mungkin wajahnya dipajang dimana-mana. Menciptakan lagu yang semakin melambungkan namanya. Hari ini kau tak lagi mengunjungiku, padahal aku ingin menyiram cahayaku diatas sana dengan doa-doa yang sudah aku siapkan setiap malam. Sudah aku coba untuk menggapainya, sayang tangga yang baru dibeli ayah tak mampu menopangku menyiram. Midun menghampiriku yang tengah tersedu-sedu menantimu. Ia membawa sepedanya menembus langit dan memecah

Seribu Tahun

Naga-naga biru berbaris di tepi mulutmu melenguhkan suara hitam Suara grojok grojok grojok yang akan membangunkanmu dari mimpi bulan yang temaram. Sungguh tak ada yang boleh lelah, sebab lelah hanya milik para pemalas. Setiap kedatanganku kita selalu berbincang tentang burung-burung yang berbaring di etalase toko, tentang tanah matahari yang kau janjikan untuknya. Tapi karena janji memang tak lekat, maka berhamburlah semuanya. Bertetasan menuju semak, pori tanah dan mengendap membentuk akuifer baru. Seribu tahun lagi saat sayap itu tumbuh di tubuhmu, bersiaplah! Tuhan   mencemplungkanmu ke lautan darah. Selamat berputar, menghambur, dan menyatukan pecahan tubuhmu dengan hujan tawas. Selamat mengendapkan buih yang membungkus abu-abu bidakmu. Lalu mengalirlah saat kuda putih kembali berlari dan jangan lupa genapi mata kata untuk mereka yang rabun keloknya.

Serigala Merah

Pelan-pelan raungan mulai terdengar dari tidur laminermu , layaknya dongeng ayah yang melautkanku pada seribu pantai. Pantai yang tak cukup ramah sebab setan dan babi-babi senang berkeliaran. Apalagi di musim yang bimbang ini. Ya, musim memang kerap bimbang membungkus tubuhnya dengan partikulat ataukah dingin yang menyegarkan. Tubuhmu kian cantik dengan motif notasi beton serta kuat tulang yang pasti akan lapuk saat tiba waktunya. Waktu memang pembunuh yang   menyenangkan. Aku suka bermain dengannya, melayang di langit jingga berdansa dengan pangeran awan, dan terjatuh di pundakmu saat pesawat besar itu mengentut semaunya. Kita berlari merayapi pohon-pohon. Aku memakai topi bermata tiga, dan aku semakin siaga. Sebab kini mataku menjadi tujuh. Kalau kau mau, bolehlah kau merapal mantra untuk ia yang mengabulkan pinta. Tapi untuk apa, toh tubuhmu lebih indah dari yang kau mau. Senja ini ibu mencariku dan aku tak ingin me