Skip to main content

Posts

Showing posts from 2013

Sepenggal Kisah Dua Bersaudara

Adalah cerita anak pertama dan kedua yang sangat berbeda. Akulah tokoh anak pertama itu. Panggil Fai. Semenjak aku dilahirkan aku ditakdirkan menjadi anak tunggal sampai usiaku kurang lebih 5 tahun 4 bulan. Sebagai anak tunggal ketika itu, aku merasa kesepian di rumah. Hanya ada ayah dan ibu. Ya, hanya ada tiga tokoh di rumahku. Ditambah lagi, keluargaku yang perantau, membuat kami benar-benar hanya bertiga di kota tempat aku di besarkan -Sumenep -. Tentu masih ada tetangga di sekitar rumahku,ya untunglah mereka begitu ramah dan dekat dengan keluargaku. Sayangnya, walau begitu anak-anak seusiaku ketika itu lebih banyak berjenis kelamin laki-laki. Mungkin dengan alasan itu dulu aku menjadi sedikit tomboy. Tak ada cerita bermain boneka, yang ada hanya bermain layang-layang, kelereng, kerapan sapi ( yang terbuat dari karet), dan bermain sepeda. Aku tidak suka bermain boneka, walaupun ayah suka membelikanku boneka, terhitung beberapa koleksi boneka yang pernah aku miliki, seperti pengu

Mantra Pemintal Hujan

Yah, dengarkan. Ini lebih dari malam-malam yang selalu aku dongengkan padamu. Adalah kerinduan yang mengendap dari kalender kering yang lalu. Hujan telah datang, kembali mengingatkan pada bidang yang membesarkan. Aku punya mesin pemintal hujan. Derunya adalah mantra yang akan mengantarkanku melebur diantara hening dingin kota ini. Aku menyelinap ke jendelamu, dalam bilik-bilik bambu basah di musim penghujan. Aku melihat ibu di rung birunya memasak bulan buruan semalam. Bumbunya cukup sederhana, sebait doa untuk keluarga. Adik kemana? Mungkin sedang menyusun ruang imajinya. Ruang yang akan menembus ke luar angkasa. Kita akan memetik segala mantra disana. Untuk ayah,ibu,langit,bulan,bintang,matahari,awan,hujan,kenangan, jalur masa depan. Di jalur itu, buah-buah bertetasan pada ketiak dahan yang menjulang dari akar yang tak pernah lupa disiram. Yah, aku bisa menjadi awan,yang akan sampai di atap merah rumahmu, rumah ibu, rumah para pemenang, dan simaklah ini sebait rindu da

Monolog Kota Mimpi

Aku berkejaran dalam desingan peluru di dadamu. Sesekali ia berhenti. Tapi kau terus berlecutan tak peduli. Aku diam. Tapi masih sempat beterbangan dalam kepalamu. Aku bisa menari. Meniru gaya angin memenuhi bumi ini. Aku bisa terpecah menjadi lebih dari 99 bayangan  yang sama sekali tak kau mengerti. Ya! Aku memenuhi setiap jengkal ruang yang kau miliki. Tiba-tiba kau bertanya dari sampan kelabumu , Apa yang kumau dari bidang tubuhmu itu? Lalu masuk   ke dalam genta dan merasuk ke sekujur badanku. Aku mencernanya, lalu memuntahkan kepadamu. Kau menghirupnya, kembali berdesingan ,seakan tak mengerti. Aku terpecah,kau merasukiku. Diam-diam kereta kelinci menjemput dari pintu warna warni. Aku menaikinya dengan nyanyian wortel biru muda. Kau juga. Kita berkelana melewati abjad-abjad yang mengapung di malam buta, disana ada gambarku meniup seruling polkadot jingga. sedang kau menangkapi irama dan membiarkan tubuhmu meresap sekenanya.   Kita membu

Kudongengkan pada Ayah

Yah, ini dongeng malam ke-75.   Malam dengan angin sore yang bimbang. Tak tahu kemana sisa tenaganya menghilang. Malam ke-75. Raksasa itu semakin sulit dibangunkan,yah.   Namanya raksasa Aka. Tubuhnya yang besar tenggelam di sungai merah, sedang perutnya menyembul bak pelampung. Aku mungkin bisa mengusiknya, menaiki perutnya lantas menggelitikinya. Tapi apa daya, aku terlalu kecil baginya. Yah, banyak kapal yang hendak datang menjemputku. Tapi ia selalu menghadang. Menguras semua perbekalan, sampai tak habis semua perjalanan yang akan dituntaskan. Maka jadilah aku yang disini. Malam ke-74. Ia tetap pemalas yang suka tenggelam dalam peta buta. Kalau lapar menyergap, segala cara disuka.   Kembali mengusik kapal-kapal yang menegakkan layar. Selalu. Aku ingin berdamai dengannya. Mungkin mencari titik perpotongan yang akan saling mempertemukan. Pada malam-malam sebelum malam ke-1, aku tak pernah berjumpa dengannya. Raksasa hitam yang mencekam. Dengan perut besar menjulang. Aya

Selamat Mengendap

Hai Fai… aku mulai jenuh dengan situasi seperti ini. Situasi baru yang aku rancang dengan kehendak Rabbi. Memang aku telah mengalami banyak sekali fase perubahan yang awalnya membuat aku senang, karena aku menjadi lebih menikmati apa yang aku lakukan. Menjadi berani mengambil resiko, mencari jalan mendaki untuk menantang diri. Dan saat ini aku merasakan hasilnya. Sedikit lebih baik, walaupun banyak mengubah waktu harian. Mengubah cara pandang lama. kau tau,fai? . Saat ini aku merasa sedikit bosan. Entah, mungkin ada sedikit prosedur yang salah, sehingga membuat aku seperti ini. Ah, Tak boleh menjadi pemalas! Seperti metamorphosis, aku merasa, aku bukan sosokku. Mungkin perlu adaptasi untuk itu. Tapi aku lebih menikmatinya. Sungguh. Hanya saja aku membutuhkan lebih banyak injeksi semangat dari luar. Ayah dan Ibu? Oh tentu itu selalu nomor satu. Seperti lembaran tahun yang telah berlalu, aku kehilangan tokoh yang dekat denganku. Jangan salah paham! Aku tak pernah mengharapkan tokoh m

Kepada Jendral

Seperti jejak yang kau tapakkan. Ia tak terhapus oleh rinai yang baru saja singgah. Ya, jejakmu melekat di dadaku, di dahiku, di depan mataku, setiap jengkal ingatan. Seperti ada yang tertinggal tentang kau, aku ingin kembali. Menemuimu lagi. Sekarang aku lebih mengerti, terlebih mengerti.   Tentang kobaran di kepalamu itu, tak habis diguyur aral melintang. Mungkin aku perlu meminta sedikit saja bibitnya. Biar kukembangkan sendiri. Lalu, jalan rahasia apa yang ingin kau tunjukkan lagi padaku? Aku terlalu penasaran, maka dari itu aku ingin kembali. Melihatmu bangkit dari jatuh lalu berjalan tak kenal malas, walaupun kau tahu, kau akan terjatuh. Lagi dan lagi. Hai, jendral!. Aku tahu kau tak pernah mau memperlihatkan jernih kristal biji matamu, pun aku. Tapi dalam diam kita sama-sama mengerti, kita tak akan rela dipisahkan waktu. Dalam sekat jemari selalu kutanam harap pada Rabbi Semoga saja masih ada sedikit waktu baik untuk kembali bertemu…

Sajak Malam

Hai fai, selamat bermalam sendu… Lama tak berbincang denganmu. Bagaimana kabarmu hari ini? Semoga selalu baik-baik saja. Malam ini akan kuceritakan padamu tentang kumbang yang suka datang dan pulang. Sekedar singgah diantara bunga-bunga yang merekah diantara malam-malamku yang menggantung ditepian pagi yang lenggang. Aku tak pernah berharap apa-apa, sebab aku tak pernah menanam harap. Untuk apa, tak ada yang bisa dituai selain segenggam bantalan yang akan remuk entah jadi apa. Seperti layang-layang tanpa benang, aku ingin leluasa terbang . Menyentuh awan-awan yang menghampar sejauh jalur yang terbentang. Mungkin disana tempat paling tepat menanam. Menanam rindu pada Tuhan, tempat semua akan berpulang. Hai kumbang hitam, agaknya aku tak akan lagi berbagi malamku denganmu. Ya, malam tempat berbincang dalam sepi kata yang didiamkan. Biarkan aku menikmati waktuku dengan kata. Berdua saja. Fai, sampaikan pada kumbang hitam, selamat bertemu di jalan pulang. Bukan diam y

Di Sudut Ruangan

Bulan yang ayah pindahkan ke kamarku warnanya merah jambu. Titipan ibu. Untukku. Maka sebelum tidur, aku akan selalu teringat adik. Terngiang-ngiang suaranya yang biru. Mengajakku bersepeda di padang bulan yang benderang. Menangkap kunang yang berkejaran dengan waktu. Waktu rupanya juga pemburu. Pemburu masaku! Malam ini, di langitmu tak akan ada bulan. sebab ia menetap di sudut ruanganku. Tersenyum sepanjang waktu,seperti senyum ibu. Kalau malam menjelang, ia bernyanyi riang. Seperti lagu kanak yang ayah nyanyikan sebagai pengantar tidurku. Ah,… aku rindu. Rindu nyanyian itu,rindu masa kanakku. Aku ingin pulang, mengusung semua kenangan ke kota ini. Menghidupkannya kembali. Membuat sketsa jalan masa depan. Entah jalan tikus, ataukah jalan dengan berjuta persimpangan. Jalan yang akan menusuk ke atas, ke bawah, menyerong, atau bahkan jalan bawah tanah. Entah.   Dan aku hanya bisa berbisik pada Tuhan, “ Wahai Tuhanku yang Maha Besar, maukah Engkau memberikanku jalan ke

Perempuan dalam Pigura

Seperti yang kau tahu, wajahnya adalah jendela. Siap mengantar yang singgah kemana saja yang disuka. Jendela yang berdoa, kadang berlayar menuju bunga seroja yang ditanam dalam bantalnya yang merah senja. Senja memang tempat berlabuh, dari kesal, pergulatan pajang mencapai tiang kehidupan.  Bila malam menjelang, ia menjemputku. Berburu waktu, aku menunggang di pundaknya., dibalut kawat berduri yang berdiri. Perlu kau tahu, tak ada yang rapuh dalam usianya yang keruh. Lihatlah rambutnya, kau akan bergelayut menikmati hangat jagung rebus di musim hujan, bersama secangkir teh penutup kemarau yang malang. Perempuan dalam pigura, siapa yang menyangka, ia yang tak pernah menyerah merawat biji dalam saku tubuhnya. Biji yang terus tumbuh menembus batas pigura.

Di Depan Rumahmu

Ada yang tengah menunggu di depan rumahmu. Bersafari coklat empat saku. Bersepatu hitam lusuh.   Waktu terus berlari, menghampiriku yang sedari tadi menunggu. Sejenak aku menengadah ke langit, lalu tunduk ke bumi. Kau menatap nanar mataku. Lalu pandangan apa yang bisa aku balaskan padamu?, semakin dekat hari yang akan menjemputku, dan aku tak akan lagi menunggu, di depan rumahmu. Safari empat saku ini akan segera aku lepaskan.   Maukah kau menyimpannya untukku yang tak akan menunggumu lagi? Di dapur ibumu menungguku. Rupanya kita saling menunggu. Apakah kau juga sedang menunggu? Aku mulai mengerti, dan menyadari kodratku. Safari coklat ini hanyalah seragam yang tak akan lama menempel di badan. Sedang sepatu , hanya untuk berjalan, mencari makan diantara semak yang semakin sempit dimakan jalanan aspal. Aku tak akan menangis, sebab tak ada yang begitu berarti. Aku bahkan terlalu rela menunggu, mengakhiri sepenggal cerita pada tempayan abu-abu , juga pada tangan-tan