Skip to main content

Posts

Showing posts from August, 2013

Rumah di Puncak Gunung

: Keluarga Fai Yah, aku tengah mendaki. Ingin berlari, tapi tak bisa. Dan aku merangkak. Sebab aku masih ingat, di puncak sana ada titik yang aku tanam. Sekeping mimpi dalam tekad bulat. Bulat, tidak satu tapi banyak. Polkadot yang menemaniku merangkak. Kalau lelah datang dan ingin menyerah, satu per satu bulatnya akan meninggalkanku. Ah, ini tak boleh   terjadi. Yah, dimana aku harus beristirahat? Menikmati perbekalan yang ibu bawakan untukku. Sebatang coklat, sebotol susu. Sungguh pasangan yang serasi. Layaknya kau dan ibu. Rupanya ibu cukup romantis melambangkan cintamu dan cintanya padaku. Jalannya semakin menanjak,yah. Hampir saja aku terjatuh. Dan sekali lagi ini tak boleh terjadi. Kalau tidak, aku tak akan mendapatkan apa-apa atas apa yang telah aku tanam. Yah, dari kejauhan kepingan itu muncul perlahan dari rumah di puncak gunung. Tepat seperti yang kita harapkan. Rumah di puncak gunung. Di sekelilingnya ada danau juga hutan yang begitu teduh. Tak ada mobil, tak ada

Tali

Tali yang kuputus setahun yang lalu warnanya kelabu. Hampir hitam mencekam. Dan bahkan memang seharusnya diputus. Tiga tahun sebelum berwarna kelabu, warnanya biru bercorak bunga-bunga. Kita sendiri yang menyambung tali itu. Merajutnya seindah mungkin walaupun kadang ada saja tali yang kusut dengan sendirinya. Lalu dengan penuh cinta (ketika itu), aku entah kau bersedia memperbaikinya. Mengganti tali yang nyaris putus dengan tali yang baru. Kita bahkan tak rela kalau sampai talinya putus. Tahun-tahun berikutnya, kita mulai lelah menyiram bunganya. Satu per satu bunganya layu. Ah tak apa yang penting bukan talinya yang putus. Mungkin itu yang aku pikirkan ketika itu, berharap seketika bunga itu bersemi kembali. Kau bagaimana?, hanya diam. Ya dalam diammu aku bahkan banyak belajar. Belajar menikmati hariku dengan diriku sendiri, dengan bayanganku. Dan aku sangat menikmatinya. Saat itulah aku belajar bagaimana memutuskan tali yang benar. Tali yang bunganya bahkan telah mati.

Di Ujung Selasar

Di ujung selasar Aku berjalan sendiri Tak beralas apa-apa Dan tanpa alasan apa-apa Introvertkah aku? Oh tentu tidak MenemuiNya   yang kurindukan Kau tau ada berapa tiang disana? 5 tiang utama, 2 tiang tambahan Dan ada banyak tiang lain yang harus aku cari sendiri Lalu maukah kau menemani perjalananku? Mencari siluet pada jalan-jalan yang kulalui yang berwarna hitam Memang hitam dan karena hitam aku ingin merekam seberapa panjang waktu yang aku lemparkan di ujung jurang Di ujung selasar Aku patrikan beberapa janji Entah akan terbawa angin atau kah tetap setia disana Menemaniku mencari siluet yang sama Ah aku tak ingin pergi Menikmati 5 tiang utama dan 2 tiang tambahan Bahkan menemukan tiang-tiang yang lain di ujung selasar

Aku dan Mereka

Wah tambah tua ya.. semakin banyak yang harus dipertanggung jawabkan semakin cepat cita-cita harus di tangan Malam itu aku benar-benar nggak nyangka banget… Entah kenapa aku tidur lebih cepat dari biasanya. Berasa galau keinget besok tambah tua, ingat banyak waktu yang dibuang sia-sia. dan tiba-tiba rizkiy di depan kost, berniat bermalam di kostku dan mbak lucy. Sebenarnya aku sedikit bingung kenapa dia menginap di kostku. Alasannya karena mbak kost di kostnya lagi pergi semua.geje kan rizkiy...hehe Jam 11 malam aku langsung masuk ke kamarku (awalnya aku dan rizkiy di kamar mbak lucy, ngerempong nggak jelas, muter lagu galau dan itu sukses membuat rizkiy tertidur pulas) Di kamarku   aku tetap muter lagu yang sama sampai akhirnya aku benar-benar tertidur dan nggak sadar apa-apa. Sampai handphoneku berbunyi. Panggilan dari mbak lucy. Dia bilang, aku harus cepat pake kerudung dan keluar rumah, soalnya mbak lucy lagi kena musibah. Aku masih bingung, tapi aku langsung keinge

Mencangkuli Kulitmu

Mencangkuli kulitmu berarti mencangkuli kenangan. Yang terjungkal dari balon udaramu dan lantas mengapung sekenanya. Semburat keluar jendela. Nyangkut di ranting. Terbang lagi. Nyangkut lagi. Dan terus seperti itu. Lantas menyelinap ke ubunku. Seperti naga berenang di kuali, mengapung tak menentu. Mencangkuli kulitmu berarti mengubek kedalaman tubuhmu. Menyelinap melewati abu-abu bolamu, menyeberangi jembatan yang mengapit antara kau dan aku. Aku rindu saat-saat kau pergi dan berkata bahwa kita tak akan berjumpa. Ya! Kau pergi melewati jendela-jendela bulat yang didalamnya timbul tenggelam cerita tentangku, tentang cangkul yang mengorek-ngorek kedalaman tubuhmu. Tak usah kenang aku sebagai cangkul, sebab aku tak lagi mau. Pergilah melewati jendela-jendela itu, kau terhimpit, pun aku. Cangkulku menunggu kulit-kulit lain yang siap aku jelajahi menuju matahari tempat terakhirku

Gajah yang Bersepeda Coklat

Gajah yang bersepeda coklat, matanya bulat seperti bola. Menggelinding diantara bunga-bunga kertas yang melekat di bajunya. Sedang kupu-kupu menarikan lagu lapar, berburu nektar. Telinganya lebar, menangkap kelelawar yang memanjat pohon jambu di rumah tua. Kalau malam tiba, jambu tumbuh jadi lautan. Tempat ikan-ikan bersiulan dan masuk ke dalam belalainya yang gulita. Gajah yang bersepeda coklat, memakai headset di telinga, juga binatang malam yang bertengger dengan santainya. Belalainya menari. Mengikuti irama malam dalam bongkah cahaya. Ada yang memindahkan matahari malam ini. Tepat diatas sepeda coklatnya yang mulai lelah. Tapi headset di telinga lebih berkuasa darinya. Saatnya tiba!. Sepeda coklat tumbang dalam tawa kumbang juga kaki bersepatu pantofel   yang hitam mengkilat. Gajah tak bersepeda coklat. Menangis dalam hati. Hanya sepasang pantofel   dan juga headset yang membawanya menjelajahi langit malam yang bertabur kacang.