Skip to main content

Posts

Showing posts from February, 2014

Sembilan Terakhir

Hari ini adalah sembilan terakhir aku menemuimu sejak enam hari yang lalu. Hari yang aku catat lamat-lamat dan kudapat dari para penujum. Hari magis yang manis. Legit pada sembilan pertama saat bajumu bergaris seperti kue lapis. Aku suka menikmati sederhana wanginya. Seperti bau pandan yang dibawa musang pada sembilan kedua. Baju yang kemudian berganti hitam bersemu hijau yang para penujum tak bisa menerka artinya. Seperti aku yang bingung harus melecutkan busur ini kemana. Hari ini adalah sembilan terakhir saat aku tak ingin lagi menemuimu. Saat langit memerah dan menyisakan bulan setengah. Bulan, yang mau atau tidak mau harus aku bagi denganmu. Bulan, yang akan aku kirim lewat travel pada kuncup lelap yang belum genap. Selamat bertemu suatu saat nanti pada sembilan yang lain di suatu tempat yang aku siapkan dengan gugusan gurindam, dengan baju yang sama, saat aku tak ingin lagi berucap kata, dan hanya semesta yang mampu merekamnya juga menyanyikannya padamu.

Ocehan Fai

Saya tahu ada tameng yang mungkin tidak sengaja berdiri diantara jarak saya denganmu. Tameng itu memang tidak begitu jelas terlihat. Tapi saya bisa merasakannya. Bukankah serendah apa pun tameng itu namanya tetap tameng? Saya cukup tahu kita berada di jalan yang berbeda. Kamu punya misi. Sama. Saya juga. Dan diantara tameng itu mungkin kita sudah terlalu jauh berjalan membelakangi. Saya mulai mengerti. Ayah selalu mengajari saya bagaimana menikmati pahit kesabaran, kekecewaan, dan perjuangan. Saya sudah banyak berubah. Kalau ayah bilang, saya harus berbesar hati, mungkin sekarang hati saya jauh lebih besar dari tubuh saya sendiri. Juga katanya bahwa teman yang akan melapangkan jalan saya, bahkan saking lapangnya, saya nyaris tersesat di jalan itu sendiri. Saya bisa memakluminya dengan diam. Ya, kalau dalam diam saya bisa menikmatinya, lalu kenapa saya harus berkoar-koar? Tentang tameng yang tidak terlihat itu, saya memang membiarkannya dengan diam dan pura-pura tidak tahu.

Mesin Pemutar Angka

Tiba-tiba aku ingin mengingatmu dalam tangkapan minggu-minggu yang terkepung, minggu yang pergi dari setiap tanggalan di bulan mati                                    Adalah tentang kepulan asapmu yang membubung di langit ungu dengan taburan doa yang bersembunyi dari malu Tiba-tiba aku terpaku Saat kau menggigil dan angka-angka berlecutan dari ketiakmu Angka yang bertelanjang dada dan dilahirkan dengan paksa Sedang pada minggu yang dihidupkan kembali, Kau tertawa lepas diatas komedi putar di pasar malam dengan angka yang semakin dewasa, begitu jauh kau berkelana bahkan saat nyawamu tersisa setengah dari harga bawang yang kian merah

Perempuan Korek Api

Perempuan korek api berlari dari timur matahari Terbirit-birit memasang lelampu di langit-langit bumi, Saat aku dan kau digantungkan pada lembaran tahun muda yang berkembang, beranak pinak, dan menunggang menuju jingga darahnya yang membara, berkobar diantara nyala mata, lalu menuju ke segenap nadi mengalir ke hilir sungai tubuhmu yang menyatu denganku Perempuan korek api yang bersayap kuning kemiri, terbang ke penghujung Negeri Melagukan suara alam pada kuping-kuping tuli Menanamkan igauan yang dicongkelnya dari mimpi hari