Skip to main content

Posts

Showing posts from October, 2013

Sajak Malam

Hai fai, selamat bermalam sendu… Lama tak berbincang denganmu. Bagaimana kabarmu hari ini? Semoga selalu baik-baik saja. Malam ini akan kuceritakan padamu tentang kumbang yang suka datang dan pulang. Sekedar singgah diantara bunga-bunga yang merekah diantara malam-malamku yang menggantung ditepian pagi yang lenggang. Aku tak pernah berharap apa-apa, sebab aku tak pernah menanam harap. Untuk apa, tak ada yang bisa dituai selain segenggam bantalan yang akan remuk entah jadi apa. Seperti layang-layang tanpa benang, aku ingin leluasa terbang . Menyentuh awan-awan yang menghampar sejauh jalur yang terbentang. Mungkin disana tempat paling tepat menanam. Menanam rindu pada Tuhan, tempat semua akan berpulang. Hai kumbang hitam, agaknya aku tak akan lagi berbagi malamku denganmu. Ya, malam tempat berbincang dalam sepi kata yang didiamkan. Biarkan aku menikmati waktuku dengan kata. Berdua saja. Fai, sampaikan pada kumbang hitam, selamat bertemu di jalan pulang. Bukan diam y

Di Sudut Ruangan

Bulan yang ayah pindahkan ke kamarku warnanya merah jambu. Titipan ibu. Untukku. Maka sebelum tidur, aku akan selalu teringat adik. Terngiang-ngiang suaranya yang biru. Mengajakku bersepeda di padang bulan yang benderang. Menangkap kunang yang berkejaran dengan waktu. Waktu rupanya juga pemburu. Pemburu masaku! Malam ini, di langitmu tak akan ada bulan. sebab ia menetap di sudut ruanganku. Tersenyum sepanjang waktu,seperti senyum ibu. Kalau malam menjelang, ia bernyanyi riang. Seperti lagu kanak yang ayah nyanyikan sebagai pengantar tidurku. Ah,… aku rindu. Rindu nyanyian itu,rindu masa kanakku. Aku ingin pulang, mengusung semua kenangan ke kota ini. Menghidupkannya kembali. Membuat sketsa jalan masa depan. Entah jalan tikus, ataukah jalan dengan berjuta persimpangan. Jalan yang akan menusuk ke atas, ke bawah, menyerong, atau bahkan jalan bawah tanah. Entah.   Dan aku hanya bisa berbisik pada Tuhan, “ Wahai Tuhanku yang Maha Besar, maukah Engkau memberikanku jalan ke

Perempuan dalam Pigura

Seperti yang kau tahu, wajahnya adalah jendela. Siap mengantar yang singgah kemana saja yang disuka. Jendela yang berdoa, kadang berlayar menuju bunga seroja yang ditanam dalam bantalnya yang merah senja. Senja memang tempat berlabuh, dari kesal, pergulatan pajang mencapai tiang kehidupan.  Bila malam menjelang, ia menjemputku. Berburu waktu, aku menunggang di pundaknya., dibalut kawat berduri yang berdiri. Perlu kau tahu, tak ada yang rapuh dalam usianya yang keruh. Lihatlah rambutnya, kau akan bergelayut menikmati hangat jagung rebus di musim hujan, bersama secangkir teh penutup kemarau yang malang. Perempuan dalam pigura, siapa yang menyangka, ia yang tak pernah menyerah merawat biji dalam saku tubuhnya. Biji yang terus tumbuh menembus batas pigura.

Di Depan Rumahmu

Ada yang tengah menunggu di depan rumahmu. Bersafari coklat empat saku. Bersepatu hitam lusuh.   Waktu terus berlari, menghampiriku yang sedari tadi menunggu. Sejenak aku menengadah ke langit, lalu tunduk ke bumi. Kau menatap nanar mataku. Lalu pandangan apa yang bisa aku balaskan padamu?, semakin dekat hari yang akan menjemputku, dan aku tak akan lagi menunggu, di depan rumahmu. Safari empat saku ini akan segera aku lepaskan.   Maukah kau menyimpannya untukku yang tak akan menunggumu lagi? Di dapur ibumu menungguku. Rupanya kita saling menunggu. Apakah kau juga sedang menunggu? Aku mulai mengerti, dan menyadari kodratku. Safari coklat ini hanyalah seragam yang tak akan lama menempel di badan. Sedang sepatu , hanya untuk berjalan, mencari makan diantara semak yang semakin sempit dimakan jalanan aspal. Aku tak akan menangis, sebab tak ada yang begitu berarti. Aku bahkan terlalu rela menunggu, mengakhiri sepenggal cerita pada tempayan abu-abu , juga pada tangan-tan

Negeri Anai-anai

Aku akan pergi, dan kita tak akan berjumpa lagi Entah kapan akan kembali Aku tak tahu pasti Kau pasti mengira Betapa tidak setianya aku Kalau begitu, bolehkah aku balik bertanya tentang kawan yang kau tinggal begitu saja? Negeri ini sudah jauh berbeda, Banyak yang tertinggal dan meninggalkannya Bila musim baik datang, Kau kembali dengan suka cita Menemui kawan yang susah tiada tara Apa lagi yang ingin kau habisi? Mungkin hanya angin yang tersisa Mengirim pesan dengan setia Musim bergulir dan kau kembali berkemas Apa yang perlu dibawa selain hati nurani? Sepasang baju baru Menemani pengembaraan dini hari Dimana kau tinggalkan kawan yang memeras darah? Negeri ini sudah terlalu renta Lalu maukah kau berpikir dan berbenah diri Memakaikan sepasang selendang warna warni, Meninggalkan ego yang menggoda diri Sekeping nirwana di depan mata Tapi buat apa kalau harus sendiri menikmati cerita? Negeri ini sudah terlalu menguras tenaga

Kucing Biru Tua

Kucing biru tua berlari-lari dari utara, yang dikejar juga tak jelas rupanya. Dalam gelap malam, siapa yang bisa membaca? Ada yang berbisik di telinganya, bunyinya seperti gesekan batu ditempa raksasa. Kucing biru tua diam saja, berlari ke arah tenggara. Kucing biru tua, stereo matanya. Berpendaran dalam bias lentera. Memetik bunga yang terapung tak terbaca. Bunga sepatu yang akan membantu menjejak diantara jatuh yang tak berkesudahan. Siapa yang rela menjulurkan tangan ke angkasa? Kucing biru tua terpingkal kecil dalam hatinya. Kembali berlari ke barat daya, yang dikejar semakin tak jelas rupanya. Tapi kucing biru tua selalu tahu artinya. Diam dan membuktikan yang tak dikira. Siapa yang bisa menduga selain Pemilik kuasa.  Kucing biru tua, tebal telinganya. Sesekali terdengar riuh rendah deru mesin tua. Biarkan saja, terus berlari ke arah merah merona. Berlari diantara kepungan abjad-abjad sampai senja merampas usia.  Kucing biru tua, Tak ada yang bisa membaca kem

Untuk Biangla

Simpanlah namaku dalam karung merahmu. Karung yang kau bawa sejak kelahiran senja di kota ini. Seperti saat pertama bertemu dahulu. Tak usah kau ingat banyak tentangku. Cukup namaku. Kalau saja nanti kita tak akan bertemu lagi, bisalah kau tanyakan aku pada yang berlalu lalang di depanmu. Ia yang mungkin terpesona padamu. Aku juga. Tapi cukup diam saja. Toh kita sudah saling memiliki,bukan? Tapi sekali lagi, tak usah kau ingat banyak tentangku. Bukankah sekarang kita telah berpisah dan menemui masa yang bergelayut di pundak usia?. Kau ini, masih saja dengan karung merahmu. Sayang sekali, kita tak bisa bertemu lagi. Tak berapa lama, sebelum kau pergi, Odin menemuiku. Membawa cerita baru di penghujung tahun ini. Aku sudah menikmati alurnya, aku sudah berani keluar dari zona yang kau bawa. Seperti kata lelaki di seberang sana, aku harus terbiasa memilih jalan mendaki. Untuk mendewasakan diri. Hai kamu yang memintaku untuk tak mengingat segala sesuatu tentang pertemuan ini,