Skip to main content

Posts

Showing posts from November, 2013

Monolog Kota Mimpi

Aku berkejaran dalam desingan peluru di dadamu. Sesekali ia berhenti. Tapi kau terus berlecutan tak peduli. Aku diam. Tapi masih sempat beterbangan dalam kepalamu. Aku bisa menari. Meniru gaya angin memenuhi bumi ini. Aku bisa terpecah menjadi lebih dari 99 bayangan  yang sama sekali tak kau mengerti. Ya! Aku memenuhi setiap jengkal ruang yang kau miliki. Tiba-tiba kau bertanya dari sampan kelabumu , Apa yang kumau dari bidang tubuhmu itu? Lalu masuk   ke dalam genta dan merasuk ke sekujur badanku. Aku mencernanya, lalu memuntahkan kepadamu. Kau menghirupnya, kembali berdesingan ,seakan tak mengerti. Aku terpecah,kau merasukiku. Diam-diam kereta kelinci menjemput dari pintu warna warni. Aku menaikinya dengan nyanyian wortel biru muda. Kau juga. Kita berkelana melewati abjad-abjad yang mengapung di malam buta, disana ada gambarku meniup seruling polkadot jingga. sedang kau menangkapi irama dan membiarkan tubuhmu meresap sekenanya.   Kita membu

Kudongengkan pada Ayah

Yah, ini dongeng malam ke-75.   Malam dengan angin sore yang bimbang. Tak tahu kemana sisa tenaganya menghilang. Malam ke-75. Raksasa itu semakin sulit dibangunkan,yah.   Namanya raksasa Aka. Tubuhnya yang besar tenggelam di sungai merah, sedang perutnya menyembul bak pelampung. Aku mungkin bisa mengusiknya, menaiki perutnya lantas menggelitikinya. Tapi apa daya, aku terlalu kecil baginya. Yah, banyak kapal yang hendak datang menjemputku. Tapi ia selalu menghadang. Menguras semua perbekalan, sampai tak habis semua perjalanan yang akan dituntaskan. Maka jadilah aku yang disini. Malam ke-74. Ia tetap pemalas yang suka tenggelam dalam peta buta. Kalau lapar menyergap, segala cara disuka.   Kembali mengusik kapal-kapal yang menegakkan layar. Selalu. Aku ingin berdamai dengannya. Mungkin mencari titik perpotongan yang akan saling mempertemukan. Pada malam-malam sebelum malam ke-1, aku tak pernah berjumpa dengannya. Raksasa hitam yang mencekam. Dengan perut besar menjulang. Aya

Selamat Mengendap

Hai Fai… aku mulai jenuh dengan situasi seperti ini. Situasi baru yang aku rancang dengan kehendak Rabbi. Memang aku telah mengalami banyak sekali fase perubahan yang awalnya membuat aku senang, karena aku menjadi lebih menikmati apa yang aku lakukan. Menjadi berani mengambil resiko, mencari jalan mendaki untuk menantang diri. Dan saat ini aku merasakan hasilnya. Sedikit lebih baik, walaupun banyak mengubah waktu harian. Mengubah cara pandang lama. kau tau,fai? . Saat ini aku merasa sedikit bosan. Entah, mungkin ada sedikit prosedur yang salah, sehingga membuat aku seperti ini. Ah, Tak boleh menjadi pemalas! Seperti metamorphosis, aku merasa, aku bukan sosokku. Mungkin perlu adaptasi untuk itu. Tapi aku lebih menikmatinya. Sungguh. Hanya saja aku membutuhkan lebih banyak injeksi semangat dari luar. Ayah dan Ibu? Oh tentu itu selalu nomor satu. Seperti lembaran tahun yang telah berlalu, aku kehilangan tokoh yang dekat denganku. Jangan salah paham! Aku tak pernah mengharapkan tokoh m

Kepada Jendral

Seperti jejak yang kau tapakkan. Ia tak terhapus oleh rinai yang baru saja singgah. Ya, jejakmu melekat di dadaku, di dahiku, di depan mataku, setiap jengkal ingatan. Seperti ada yang tertinggal tentang kau, aku ingin kembali. Menemuimu lagi. Sekarang aku lebih mengerti, terlebih mengerti.   Tentang kobaran di kepalamu itu, tak habis diguyur aral melintang. Mungkin aku perlu meminta sedikit saja bibitnya. Biar kukembangkan sendiri. Lalu, jalan rahasia apa yang ingin kau tunjukkan lagi padaku? Aku terlalu penasaran, maka dari itu aku ingin kembali. Melihatmu bangkit dari jatuh lalu berjalan tak kenal malas, walaupun kau tahu, kau akan terjatuh. Lagi dan lagi. Hai, jendral!. Aku tahu kau tak pernah mau memperlihatkan jernih kristal biji matamu, pun aku. Tapi dalam diam kita sama-sama mengerti, kita tak akan rela dipisahkan waktu. Dalam sekat jemari selalu kutanam harap pada Rabbi Semoga saja masih ada sedikit waktu baik untuk kembali bertemu…